BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Artinya : “Dan pada pergantian
malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya
dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (Q.S. al-Jaatsiyah :
5)
Artinya : “Mengapa kamu suruh
orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu
sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?.”
(Q.S. al-Baqarah : 44)
Akal adalah
pemberian dari Allah swt. kepada manusia yang digunakan untuk berpikir. Berpikir
merupakan hal yang selalu dilakukan oleh manusia, dan berpikir pula merupakan
keistimewaan (kelebihan) yang diberikan oleh Allah swt. kepada kita manusia.
Akal yang diberikan oleh-Nya merupakan suatu pembeda antara kita dengan makhluk
lainnya.
Berpikir berkaitan erat dengan filsafat, karena
filsafat merupakan suatu upaya berpikir yang jelas dan terang tentang seluruh
kenyataan. Filsafat dapat mendorong pikiran kita untuk meraih kebenaran yang
dapat membawa manusia kepada pemahaman, dan pemahaman membawa manusia kepada kehidupan
yang lebih baik. Filsafat mengkaji banyak bidang, salah satunya mengkaji bidang
ilmu pengetahuan. Dari kenyataan tersebut, sebagai orang yang beragama Islam,
terdoronglah penyusun untuk mencari tahu bagaimanakah pandangan Islam mengenai
filsafat ilmu tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan filsafat ilmu?
2.
Bagaimanakah
filsafat ilmu menurut pandangan Islam?
3.
Bagaimanakah
pandangan para filsuf muslim?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu.
2.
Untuk
mengetahui bagaimaan filsafat ilmu menurut pandangan Islam.
3.
Untuk
mengetahui bagaimanakah pandangan para filsuf muslim.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Ilmu
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy,
adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani : Philosophia, yang
terdiri atas dua kata : philos (cinta ) atau philia
(persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (‘hikmah’, kebijaksanaan,
pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi, secara
etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of
wisdom). Orangnya disebut filosof yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.[1] Sedang
menurut al-Farabi , filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang alam, wujud
bagaimana hakikat yang sebenarnya.[2] Pada
dasarnya filsafat merupakan sebuah cara berpikir yang radikal dan menyeluruh,
yaitu suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Dan secara
terminologi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengenai segala sesuatu
dengan memandang sebab-sebab terdalam, tercapai dengan budi murni.[3]
Atau dapat juga diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala
sesuatu yang ada secara mendalam sampai pada hakikatnya dengan menggunakan akal
atau pikiran.[4]
Kata “ilmu” berasal
dari bahasa Arab yaitu ‘alam yang berarti pengetahuan. Pemakaian kata
itu dalam bahasa Indonesia diekuivalenkan dengan istilah “science”. Science
berasal dari bahasa Latin, yaitu scio dan scire yang berarti
juga pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[5]
Untuk penegertian
filsafat ilmu, maka filsafat ilmu secara umum dapat dipahami dari dua sisi,
yaitu sebagai disiplin ilmu dan sebagai landasan filosofis bagi proses
keilmuan. Sebagai suatu disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu
filsafat yang membicarakan objek khusus, yaitu ilmu pengetahuan yang memiliki
sifat dan karakteristik tertentu hampir sama dengan filsafat pada umumnya.
Sementara itu, filsafat ilmu sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan
merupakan kerangka dasar dari proses keilmuan itu sendiri. Secara sederhana,
filsafat dapat diartikan sebagai berpikir menurut tata tertib dengan bebas dan
sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar suatu persoalan.[6]
Sedangkan dalam buku lain dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah pemikiran lebih
lanjut tentang ilmu itu sendiri.[7]
Mengenai landasan
penelaahan ilmu, terdiri dari ontologi ilmu, epistimologi ilmu, dan aksiologi
ilmu. Landasan ontologis adalah tentang objek yang ditelaah ilmu, landasan
epistimologi ilmu adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah
sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Dan terakhir, landasan aksiologi adalah
berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan
manusia.[8]
Dari uraian diatas,
dapat dikatakanlah bahwa arti filsafat ilmu adalah berpikir secara ilmiah dan mendalam khusus tentang ilmu (tersebut) untuk
memperoleh suatu kebenaran tentang hakikat ilmu tersebut yang dapat dipertanggungjawabkan. Dan memiliki tiga landasan penelaahan
ilmu, yaitu landasan ontologis, epistimologi, dan aksiologi.
B.
Filsafat Ilmu Menurut Pandangan Islam
Al-Qur’an adalah
himpunan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an adalah
kitab suci agama Islam yang berisikan tuntunan-tuntunan dan pedoman-pedoman
bagi manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia
dan di akhirat, lahir dan batin.
Memang Al-Qur’an pada
dasarnya merupakan buku petunjuk dan pegangan keagamaan, namun diantara isinya
mendorong umat Islam supaya banyak berpikir. Hal ini dimaksudkan agar mereka
melalui pemikiran akalnya sampai pada kesimpulan adanya Allah swt. Pencipta
alam semesta dan sebab dari segala kejadian di alam ini.
Telah dikemukakan bahwa
Al-Qur’an merupakan pendorong utama lahirnya pemikiran filsafat dalam Islam.
Pengertian yang dikandung filasafat sejalan dengan isi Al-Qur’an. Dalam
Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang mendorong pemeluknya agar banyak berpikir
dan mempergunakan akalnya. Kata-kata yang dipakai al-Qur’an dalam menggambarkan
kegiatan berpikir ialah:
1.
Kata-kata berasala dari ‘aqala (عقل) mengandung
arti mengerti, memahami, dan berpikir, terdapat dalam lebih dari 45 ayat. Di
antaranya surat al-Baqarah (2) : 242, al-Anfal (8) : 22 dan an-Nahl (16) :
11-12.
2.
Kata-kata yang berasal dari nazhara
(نظر) melihat secara abstrak dalam arti berpikir dan merenungkan
atau menalar, terdapat dalam Al-Qur’an lebih dari 30 ayat. Di antaranya surat
Qaf (50) : 6-7, ath-Thaariq (86) : 5-7, dan al-Ghaasiyah (88) : 17-20.
3.
Kata yang berasal dari tadabbara
(تدبر) mengandung arti merenungkan, terdapat dalam beberapa ayat,
seperti surat Shad (38) : 29 dan Muhammad (47) : 24
4.
Kata-kata yang berasal dari tafakkara
(تفكر) yang berarti berpikir, terdapat 16 ayat dalam Al-Qur’an. Di
antaranya dalam surat an-Nahl (16) : 68-69 dan al-Jaatsiyah (45) : 12-13.
5.
Kata-kata yang berasal dari faqiha
(فقه) yang berarti mengerti dan paham, terdapat 16 ayat dalam
Al-Qur’an. Di antaranya surat al-Isra’(17) : 44, al-An’am (6) : 97-98 dan
at-Taubah (9) : 122.
6.
Kata-kata yang berasal dari tazakkara
(تذكر ) yang berarti mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran,
memperhatikan dan mempelajari, yang semuanya mengandung peerbuatan berpikir,
terdapat dalam lebih dari 44 ayat. Di antanranya surat an-Nahl (16) : 17, az-Zumar
(39) : 9, dan adz-Dzaariyat (51) : 47-49.
7.
Kata-kata yang berasal dari fahima
(فهم) yang berarti memahami dalam bentuk fahhama; di
antaranya surat al-Anbiyaa’ (21) : 78-79.
8.
Ulu al-baab (اولوا الالباب) yang berarti orang
berpikiran, di antaranya terdapat dalam surat Yusuf (12) : 111 dan surat
Al-Imraan (3) : 109; ulu al-‘ilm (اوالوا العلم) yang
berarti orang berilmu, di antaranya terdapat dalam surat Ali-Imraan (3) : 18; ulu
al-abshaar (اولوا الابصار) yang berarti orang yang
mempunyai pandangan, di antaranya terdapat dalam surat an-Nuur (24) : 44; ulu
al-Nuha (اولوا النهى), yang berarti orang bijaksana, di antaranya terdapat dalam
surat al-Anfaal (8) : 22 dan an-Nahl (16) : 11-12; dan juga kata ayat (اية) sendiri
erat hubungannya dengan perbuatan berpikir, yang arti aslinya adalah tanda.
Perintah berpikir terdapat
pula dalam ayat kauniyah. Ayat-ayat ini menggambarkan kejadian di alam semesta.
Semua kejadian tersebut yang oleh al-Qur’an diperintahkan umat Islam untuk
memikirkan dan merenungkan.
Dorongan terhadap akal dan
pemikiran filsafat juga datang dari hadits sebagai sumber kedua dari ajaran
Islam. Di antara hadits yang memberikan penghargaan tinggi pada akal adalah
(artinya) : agama adalah penggunaan akal, tiada beragama bagi orang yang tidak
berakal.
Salah satu dari hadits Qudsi
yang menggambarkan betapa tingginya kedudukan akal dalam ajaran Islam dapat
dilihat dalam hadits dibawah ini :
فبعز تى وجلا لي و ما خلقت خلقا اعز علي منك فبك اخذ و بك اعطى و بك اثبت و
بك اعا قب
“Demi kekuasaan dan
keagungan- Ku tidaklah Kuciptakan makhluk lebih mulia dari engkau (akal).
Karena engkaulah Aku mengambil dan memberi dan karena engkaulah Aku menurunkan
pahala dan menjatuhkan siksa.”
Jelaslah bahwa kata-kata yang terdapat dalam
ayat-ayat al-Qur’an di atas dan juga ayat-ayat lainnya serta hadits mengandung
anjuran dan mendorong umat Islam supaya banyak berpikir dan menggunakan
akalnya. Akal dalam Islam menduduki posisis tinggi dan terhormat. Oleh karena
itu, berpikir dan menggunakan akal adalah ajaran yang jelas dan tegas dalam
Islam. Jika filsafat dikatakan berpikir secara radikal, bahkan sampai ke dasar
segala dasar, maka pengertian ini sejalan dengan kandungan isi al-Qur’an yang
mendorong pemeluknya untuk berpikir secara mendalam tentang segala sesuatu
sehingga ia sampai ke dasar segala dasar, yakni Allah swt., Pencipta alam
semesta.[9]
Dan inilah beberapa
ayat yang mengandung kata-kata pendorong untuk berfilsafat, disertai dengan
tafsirnya :
@è% w ÈqtGó¡o ß]Î7sø:$# Ü=Íh©Ü9$#ur öqs9ur y7t7yfôãr& äouøYx. Ï]Î7sø:$# 4 (#qà)¨?$$sù ©!$# Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# öNä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÉÈ
Artinya : “Katakanlah: "tidak
sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik
hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu
mendapat keberuntungan.” (Q.S. al-Maaidah: 100)
Dalam
tafsir al-Azhar, karangan Hamka, menerangkan bahwa kalau Allah menyiksa,
sangatlah pedih siksaan-Nya. Yang disiksa ialah orang yang memilih jalan yang
buruk dan kelakuan yang buruk. Tetapi Allah-pun Pengampun dan Penyayang. Yaitu
kepada orang yang berjuang mengalahkan diri dari yang buruk dan memilih yang
baik. Akal yang terdidik oleh petunjuk Agama dapatlah membedakan buruk dan
baik. Akal dapat menilai mana yang mudharat dan mana yang manfaat. Mana yang
haram dan mana yang halal. Mana yang adil dan mana yang yang zhalim. Mana yang
kebodohan dan mana yang ilmu-pengetahuan. Mana yang merusak dan mana yang
memperbaiki.[10]
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa akal yang diberikan oleh-Nya
haruslah digunakan sebaik-baiknya dalam segala sesuatu yang baik.
É#»n=ÏG÷z$#ur È@ø©9$# Í$pk¨]9$#ur !$tBur tAtRr& ª!$# z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# `ÏB 5-øÍh $uômr'sù ÏmÎ/ uÚöF{$# y÷èt/ $pkÌEöqtB É#ÎóÇn@ur Ëx»tÌh9$# ×M»t#uä 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷èt ÇÎÈ
Artinya : “Dan pada pergantian malam
dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya
dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (Q.S.
al-Jaatsiyah : 5)
Dalam
Tafsir Al-Maraghi, maksud dari ayat ini adalah apabila kamu memperhatikan
hikmah-hikmah yang tersebut di langit dan bumi, maka kamu akan beriman tentang
ke-Esa-an pencipta dan kekuasaan-Nya. Dan apabila kamu bertambah ilmu
pengetahuan, maka bertambah pula kemantapanmu dan kepahamanmu, sehingga kamu
menjadi orang-orang yang yakin terhadap ke-Esa-an dan kekuasaan Allah itu.
Karena keyakinan itu terjadi berkat banyaknya dalil-dalil. Dan apabila kamu
telah yakin tentang keindahan alam semesta ini, kebagusan aturan-Nya, maka kamu
tergolong orang-orang yang mempunyai akal matang dan pikiran yang dapat
menembus rahasia-rahasia alam semesta ini dengan bikinan(buatan)-Nya yang unik,
sehingga kau dapat mengambil manfaat dan kandungannya dan dapat menundukkan
kemanfaatan-kemanfaatan dalam kehidupan yang penuh dengan kebutuhan-kebutuhan. [11]
* tbrâßDù's?r& }¨$¨Y9$# ÎhÉ9ø9$$Î/ tböq|¡Ys?ur öNä3|¡àÿRr& öNçFRr&ur tbqè=÷Gs? |=»tGÅ3ø9$# 4 xsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÍÍÈ
Artinya : “Mengapa kamu suruh orang lain
(mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri,
Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”
(Q.S. al-Baqarah : 44)
Dalam
Tafsir al-Maraghi, penjelasan mengenai lafal afalaa ta’qiluun; apakah
kalian tidak mempunyai akal lagi sehingga kalian tidak bisa dikendalikan di
dalam melakukan perbuatan yang mengundang bahaya? Sebab, orang yang mempunyai
akal – sekalipun tingkat kecerdasannya tidak seberapa – ia takkan mengaku dirinya
telah menguasai atau mempunyai ilmu Kitab secara sempurna, kemudian ia menyeru
kepada umat manusia untuk mengikuti hidayah dan menjelaskan kepada mereka bahwa
kebahagiaan akan selalu bersamanya selama ia mengikuti petunjuk Al-Qur’an,
tetapi ia tidak mengamalkan dan tidak berpegang pada apa yang ia perintahkan
kepada orang lain, di samping tidak meninggalkan apa yang mereka yakini sebagai
larangan.[12]
Sedang
untuk orang yang memiliki ilmu, Allah swt. berfirman :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
Artinya : “Hai orang-orang beriman
apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis",
Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. al-Mujadilah :11)
Seperti yang diketahui bahwa filsafat ilmu merupakan berpikir
lebih dalam mengenai ilmu itu sendiri, dan jika seseorang yang telah
berfilsafat dalam keilmuan, maka ia adalah orang yang menggunakan akalnya
dengan baik demi mnambah ilmu. Dan barangsiapa yang berilmu maka akan ditinggikan
derajatnya beberapa derajat, itu merupakan imbalan dari Allah atas orang-orang
yang mau mencari ilmu. Dan apa buktinya kita manusia diperintahkan untuk
menuntut ilmu, jika dilihat dalam al-Qur’an, seperti yang diketahui bersama
bahwasanya, kita manusia disuruh untuk membaca (seperti wahyu yang kali pertama
diturunkan), dan membaca merupakan jendela ilmu,
Firman Allah swt.:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ
Artinya : “Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu yang Menciptakan,”
Dalam hadits, untuk
perintah menuntut ilmu dapat dilihat dalam hadits yang berbunyi :
“Carilah
ilmu walau sampai ke negeri Cina , karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib
bagi setiap muslim.’”(H.R.
Baihaqi).
عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
“” طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ )القرطبي،(23 : 2003
Dari Anas
bin Malik, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Mencari ilmu merupakan
kewajiban bagi setiap muslim”. (Al-Qurthubi, 2003:
23)[13]
Namun, dari sekian banyak ulama
Islam, ada yang berkeberatan terhadap pemikiran filsafat Islam (pemikiran
filsafat yang berdasarkan ajaran Islam), tetapi ada juga yang menyetujuinya. Ulama
yang berkeberatan terhadap pemikiran filsafat (golongan salaf) berpendapat
bahwa : adanya pemikiran filsafat yang dianggapnya sebagai bid’ah dan
menyesatkan.[14]
Alasannya adalah karena berfilsafat adalah berpikir, dengan kata lain akal lebih dikedepankan, dan otomatis mengedepankan
akal daripada al-Qur’an dan hadits.
Padahal kita diperintahkan untuk mendahulukan Allah swt. dan Rasul-Nya,
sebagaimana Allah swt. berfirman : [15]
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
w
(#qãBÏds)è? tû÷üt/ Äyt «!$#
¾Ï&Î!qßuur (
(#qà)¨?$#ur
©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ììÏÿx ×LìÎ=tæ ÇÊÈ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Q.S. al-Hujurat :
1)
Dapat disimpulkan bahwasanya, filsafat ilmu dalam
pandangan Islam atau digunakannya filsafat dalam Islam, ada dua pandangan, ada yang
setuju dan ada pula yang tidak. Pendapat yang menyatakan setuju, alasannya
adalah karena manusia mempunyai akal dan dengan akalnya manusia diminta untuk
berpikir (filsafat) tentang apapun yang terjadi di muka bumi untuk menambah
kenyakinan akan kekuasaan-Nya (dalam al-Qur’an surah al-Jaatsiyah ayat 5).
Sedangkan pendapat yang tidak setuju menyatakan alasannya adalah bahwa dalam
filsafat yang dikedepankan adalah akal, dan pasti menyebabkan meninggalkan
al-Qur’an dan hadits, karena dalam al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 1, kita
disuruh untuk mendahulukan Allah swt. dan rasul-Nya (Al-Qur’an dan Hadits).
Dan untuk
penyusun sendiri, lebih kepada setuju atas digunakannya filsafat. Mengapa?...
karena sesuai dengan al-Qur’an yang di dalamnya banyak terdapat kata “berakal”,
dan “berpikir” dan lainnya yang befungsi sebagai pendorong untuk berfilsafat; akal
merupakan pemberian Allah swt. yang harus dipergunakan sebaik-baiknya dan semaksimal
mungkin, sebagai bentuk syukur atas diberikannya akal tadi, namun tetap harus
dibatasi dengan al-Qur’an dan hadits, agar penggunaan akal tetap pada jalan yang
benar; tidak menyalahi al-Qur’an dan hadits.
C. Pandangan Para Filsuf Muslim
1. Ilmu Jiwa (Psikologi) Menurut Ibnu Sina dan Al-Farabi
a. Masalah Jiwa dalam Dunia Islam
Agama
dan syari’at menyeru kepada jiwa sebelum menyeru kepada tubuh. Ia lebih banyak
berorientasi kepada ruh daripada kepada tubuh. Pahala dan siksa serta
petanggungjawaban moral dan pertanggungjawaban keagamaan secara umum mengajak
untuk memikirkan ruh, keabadian, dan kesudahannya setelah berpisah dari tubuh.
Tak seorang filosofpun yang tidak menyumbangkan
pikiran dan tidak mengajukan pemecahannya. Bahkan sejarah jiwa merupakan inti
sari sejarah filsafat secara keseluruhan. Islam yang datang untuk membangunkan
jiwa dari tidur tidak mungkin mengacuhkan atau menutup mata terhadap persoalan
jiwa ini. Islam sebagai agama yang menyeru untuk membersihkan dan mensucikan
jiwa tidak mungkin pura-pura tidak tahu atau mengingkarinya. Islam secara
singkat merupakan agama dan akidah sebelum menjadi budaya dan kultur. Oleh
karena itu, Islam menyeru kepada jiwa sejak awal dakwahnya dan memusatkan
pandangan kepadanya. Begitu Islam berkenalan dengan peradaban-peradaban klasik
: Mesir, Yunani, Persia dan India, para pemikir muslim segera memperluas
studinya mengenai jiwa ini. Mereka meneliti hal ihwal dan
keistimewaan-keistimewaan jiwa, terutama mengenai keabadian dan reinkarnasi.
Tentang hal ini tak pelak terjadi debat dan diskusi.
Perhatian Ibnu Sina pada psikologi sangat besar
hingga tak ada tandingannya dalam sejarah, baik di abad tengah maupun
sebelumnya. Ia mempelajari berbagai macam masalah psikologi. Ia benar-benar
ingin menguasai permasalahan-permasalahannya dan mendalaminya dengan
sungguh-sungguh. Ia banyak menulis mengenai psikologi yang selayaknya
mendapatkan perhatian kita. Ibnu Sina menulis masalah jiwa semenjak ia masih
muda.
b.
Al-Quran dan Al-Sunnah
Bila kita mereferen kepada kedua unsur primer ini maka kita temukan
bahwa al-Quran dan al-Sunnah tidak
hanya sekali menyinggung masalah jiwa. Keduanya membicaran jiwa dalam berbagai
kesempatan. Al-Quran misalnya mengatakan bahwa ruh merupakan pembangkit hidup,
bahkan itu dari Allah :
øÎ) tA$s% y7/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) 7,Î=»yz #Z|³o0 `ÏiB &ûüÏÛ ÇÐÊÈ #sÎ*sù ¼çmçG÷§qy àM÷xÿtRur ÏmÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇÐËÈ
Artinya : “ (71) (ingatlah) ketika
Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan
manusia dari tanah". (72) Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan
Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan
bersujud kepadaNya.” (Q.S. Shaad : 71-72)
Dan ruh merupakan rahasia Allah swt.
dalam ciptaan-Nya. Manusia yang memang terbatas ilmunya tidak perlu cemas
bingung bila tidak mengetahui hakikat dan esensi jiwa.
tRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ÌøBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# wÎ) WxÎ=s% ÇÑÎÈ
Artinya : “Dan mereka bertanya
kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Q.S. al-Israa’ : 85)
Allah memperingatkan terhadap syahwat dan hawa nafsu dengan
menandaskannya pada nafsu lawwamah yang tidak mau dan emoh pada hal-hal yang
hina.
Iwur ãNÅ¡ø%é& ħøÿ¨Z9$$Î/ ÏptB#§q¯=9$# ÇËÈ
Artinya : “Dan aku bersumpah dengan
jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri).” (Q.S. al-Qiyamah : 2)
Allah juga memperingatkan bahwa jiwa
itu bertingkat-tingkat yang paling
tinggi adalah jiwa mutmainnah. Allah swt. berfirman kepadanya:
$pkçJr'¯»t ß§øÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuÅÊ#u Zp¨ÅÊó£D ÇËÑÈ Í?ä{÷$$sù Îû Ï»t6Ïã ÇËÒÈ Í?ä{÷$#ur ÓÉL¨Zy_ ÇÌÉÈ
Artinya : “27. Hai jiwa yang tenang.
28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka
masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, 30. masuklah ke dalam syurga-Ku.”
(Q.S. al-Fajr : 27-30)
Al-Quran juga menerangkan bahwa
semua jiwa itu akan kembali kepada Allah.
ª!$# ®ûuqtGt }§àÿRF{$# tûüÏm $ygÏ?öqtB ÓÉL©9$#ur óOs9 ôMßJs? Îû $ygÏB$oYtB ( ÛÅ¡ôJçsù ÓÉL©9$# 4Ó|Ós% $pkön=tæ |NöqyJø9$# ã@Åöãur #t÷zW{$# #n<Î) 9@y_r& K|¡B 4 ¨bÎ) Îû Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 crã©3xÿtGt ÇÍËÈ
Artinya : “Allah memegang jiwa
(orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu
tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya
dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berfikir.” (Q.S. az-Zumar : 42)
Dalam
hadits, ada juga hadits yang menerangkan bahwa ruh itu merasa senang bila
diziarahi oleh yang masih hidup.
“
Tak seorangpun yang menziarahi kubur saudaranya dan duduk disitu, kecuali
yang diziarahi tadi merasa senang dan membalasnya hingga ia berdiri.” (H.R.
Bukhari)
c.
Beberapa Masalah
Psikologi Ibnu Sina
Sebagaimana filosof muslim lainnya Ibnu
Sina mengikuti klafikasi ilmu-ilmu filsafat tradisional yang berasal dari
Aristoteles. Yakni bahwa ilmu filsafat itu terbagi dalam ilmu teoritis dan ilmu
praktis. Dalam kelompok ilmu teoritis dan ilmu praktis. Dalam kelompok ilmu teoritis termasuk fisika, matematika dan metafisika. Sedangkan yang dimaksud
ilmu praktis adalah etika, tata
rumah tangga, politik. Kami perlu menerangkan dalam cabang atau kelompok mana
psikologi digolongkan. Ibnu Sina dengan Aristoteles dengan jelas menempatkan
psikologi dalam kelompok pengetahuan teoritis dan masuk dalam ilmu-ilmu alam.
Disamping itu
ia menambahkan hal-hal lain yang tidak jauh dari sifat eksperimen. Salah satu penelitian
psikologisnya yaitu psikologi fisik, berkisar mengenai jiwa dengan segala macamnya terdiri dari
vegetatif, animal dan manusiawi, terutama dimaksudkan dengan kekuatan jiwa
manusia baik yang lahir maupun yang batin. Dalam hal ini Ibnu Sina betul-betul memperluas studinya. Sebagian
besar tulisannya mengenai berbagai rasa dan indra. Diwarnai dengan
pemikiran-pemikiran para pendahulunya dengan berusaha memperbaiki,
menghilangkan kekurangannya dan mentarjih (memilih
pendapat yang dalihnya paling kuat di antara yang telah ada) antara satu dengan lainnya.
Adanya Jiwa
Untuk waktu yang cukup lama mereka
para filsuf berkeyakinan bahwa jiwa merupakan pembangkit hidup, maka barang
siapa mengingkari hidup dengan jiwa. Mereka selalu berpendapat bahwa jiwa
merupakan sumber rasa dan pemikiran yang bila diingkari maka akan tidak
berarti. Selain itu, semua bahasan keagamaan juga berkaitan dengan adanya jiwa
manusia, yang menjadi : tempat iman dan kepercayaan, tempat bergantungnya
perintah dan tanggung jawab. Ibnu Sina menganggap jiwa sebagai salah satu dari
rujukannya dan merupakan tujuan utama yang menjadi titik tolak. Untuk itu ia
mengemukakan bukti.
Bukti-Bukti Psiko Fisik
Ada dua hal yang penting, yaitu
gerak dan pengenalan. Gerak terbagi atas dua macam. Pertama, gerak terpaksa
timbul dari dorongan unsur luar yang mengenai suatu benda tertentu lalu
menggerakkannya. Kedua, bukan paksaan, yang dengan berbagai peranannya terbagi
ke dalam beberapa macam juga. Ada yang terjadi sesuai denga hukum alam seperti
jatuhnya batu dari atas ke bawah. Ada juga yang menentang hukum alam seperti
manusia yang berjalan di atas bumi sedang berat badannya seharusnya membuat
manusia itu tak bergerak. Gerak yang menentang hukum alam ini tentu ada
penggerak tertentu di luar unsur tubuh yang digerakkan. Yaitu jiwa. Sedangkan
pengenalan merupakan keistimewaan satu makhluk atas yang lain. Karena itu
makhluk yang dapat mengenal harus memiliki kekuatan yang tidak dipunyai oleh
makhluk yang tidak dapat mengenal. Demikianlah bukti-bukti psiko-fisik yang
menjadi landasan Ibnu Sina. [16]
d.
Jiwa menurut Al-Farabi
Kesatuan keduanya (jiwa dan jasad) merupakan
kesatuan secara accident, artinya
masing-masing keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad
tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqah, berasal dari alam Illahi,
sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak.
Bagi al-Farabi, jiwa manusia
mempunyai daya-daya sebagai berikut.
a. Daya al-Muharrikat (gerak); daya ini
mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b. Daya al-Mudrikat (mengetahui); daya ini
mendorong untuk merasa dan berimanjinasi.
c. Daya al-Nathiqat (berpikir); daya ini
mendorong untuk berpikir.
Tentang sengsara dan bahagianya jiwa, al-Farabi
mengaitkan dengan filsafat negara utamanya. Bagi jiwa yang hidup pada negara
utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah. Maka
jiwa ini, menurut al-Farabi akan kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup
pada negara fasiqah, yakni jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi ia tidak
melaksanakan segala perintah Allah, ia kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan. Sementarra itu,
jiwa yang hidup pada negara jahilah,
yakni jiwa yang tidak kenal sama sekali dengan Allah dan tidak pula pernah
melakukan perintah Allah, ia lenyap bagaikan jiwa hewan. [17]
2.
Metafisika Menurut Al-Kindi dan Al-Farabi
a.
Metafisika Menurut Al-Kindi
Persoalan metafisika dibicarakan oleh al-Kindi dalam
beberapa risalahnya, antara lain risalah yang berjudul “Tentang Filsafat
Pertama” dan “Tentang keesaan Tuhan dan Berakhitnya Benda-benda Alam”. Pembicaraan
dalam soal ini meliputi hakiat Tuhan, wujud Tuhan dan sifat-sifat Tuhan.
Hakikat Tuhan
Tuhan adalah wujud yang haq (Benar) yang bukan
asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu
ada dan akan selalu ada. Oleh karena itu Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak
didahului oleh wujud lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada wujud kecuali
dengan-Nya.
Bukti-Bukti Wujud Tuhan
Untuk
membuktikan wujud Tuhan ia menggunaka tiga jalan, yaitu:
1) Baharunya alam
2) Keanekaragaman dalam wujud (katsrah fil mawjudat),dan
3) Kerapian alam
Untuk jalan pertama al-Kindi menanyakan apakah
mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya, ataukah tidak mungkin.
Dijawabnya, bahwa hal itu tidaklah mungkin. Jelasnya alam ini baru dan ada
permulaan waktunya, karena alam ini terbatas. Oleh karena itu, maka mesti ada
yang menyebabkan alam ini terjadi (ada yang menjadikan). Tidak mungkin ada
benda yang ada dengan sendirinya dan dengan demikian, maka ia diciptakan oleh
penciptanya dari tiada.
Untuk jalan kedua al-Kindi mengatakan bahwa dalam
alam ini, tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa keseragaman. Hal ini bukan
kebetulan bukan karena kebetulan, tetapi karena suatu “Sebab”. Maka
“Sebab” tersebut haruslah berada di luar
alam dan lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dulu adanya, karena “Sebab” harus
ada sebelum ma’lulnya (efek,akibat).
Untuk jalan ketiga, al-Kindi menyatakan bahwa
alam-lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya zat yang tidak
nampak. Zat yang tidak nampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui
bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat pada alam ini. Jalan ini terkenal
dengan nama “illat tujuan” (illat ghayah) yang telah ditentukan oleh
Aristoteles sebelumnya.
Sifat-sifat Tuhan
Persoalan sifat-sifat Tuhan ramai dibicarakan orang
pada masa al-Kindi. Diantara sifat-sifat Tuhan adalah Keesaan, suatu sifat yang
paling khas bagi-Nya. Tuhan itu satu zat-Nya dan satu dalam hitungan. Karena
itu pula maka sifat Tuhan ialah “ Yang Maha Tahu, Yang Maha Berkuasa, Yang
Hidup” dan seterusnya.
Al-Kindi mengatakan Tuhan bersifat Azali, yaitu zat
yang sama sekali tidak bisa dikatakan pernah tidak ada, atau pada permulaannya
ada, melainkan zat yang ada dan wujud-Nya tidak tergantung pada lain-Nya atau
tergantung kepada “sebab”; tidak ada yang menjadikan-Nya dan tidak ada sebab
yang ia adalah Zat yang karena-Nya maka Dia ada bukan subyek atau predikat.
Zat yang Azali tidak rusak (musnah). Ia tidak
bergerak, karena dalam gerak itu artinya ada pertukaran yang tidak sesuai dengan
wujud Tuhan yang sempurna. Karena zat yang azali tidak bergerak, maka zaman
(waktu) tidak berlaku pada-Nya, karena zaman itu adalah bilangan gerak. Akan
tetapi zat tersebut mempunyai pekerjaan khusus yang disebut “Ibda”, artinya
menjadikan sesuatu dari tiada, yang mengandung pengertian bahwa ia mempunyai
perasaan atau menerima pengaruh (infi’al atau ta-atstsur).
Kesimpulannya ialah bahwa Allah adalah sebab-pertama
(first cause), dimana wujudnya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah zat yang
menciptakan tetapi bukan diciptakan; menciptakan segala sesuatu dari tiada. Ia
tidak zat yang menyempurnakan, tetapi bukan disempurnakan.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat
wujud Allah) dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud mengesankan
duplikat Al-Farabi. Sepertinya tidak ada tambahan sama sekali, akan tetapi,
dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada tiga tingkatan
dipandang memiliki daya kreasi tersindiri sebagai berikut:
a. Wajib al-wujud
b. Mumkin al-wujud
c. Mumtani’ al-wujud
Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana al-Farabi,
Ibnu Sina juga menyucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan esensi-Nya karena Allah
Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari
bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat-Nya, tentu akan membawa zat
Allah menjadi Pluralitas (lebih dari satu) /ta’addud al-qudama.
Dari pendapatnya Ibnu Sina berusaha meng-Esa-kan Allah
semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah swt. Jika tidak demikian,
tentu ilmu Allah Yang Maha Sempurna
akan sama dengan sifat ilmu manusia, bertambahnya ilmu membawa perubahan pada
esensi manusia. [18]
b. Metafisika Menurut Al-Farabi
Pertanyaan utama yang diajukan
kepada al-Farabi ialah bisakah kita mengenal Tuhan. Dalam satu karyanya,
al-Farabi menjawab bahwa Tuhan dapat diketahui dan tidak diketahui, Tuhan
nampak (zhahir) sekaligus tersembunyi (bathin). Pengetahuan terbaik mengenai
Tuhan ialah memahami bahwa Dia adalah yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran.
Manusia tidak dapat mengetahui Tuhan karena keterbatasan kapasitas
intelektualnya. Cahaya adalah media magi mata manusia memgetahui warna.
Logikanya, cahaya yang sempurna akan menghasilkan pandangan yang sempurna pula.
Tetapi, al-Farabi memberikan jalan
keluar untuk mengenal Tuhan. Tuhan bukan pesona yang tidak dapat dipahami sama
sekali. Melalui penalaran argumentasi sesungguhnya manusia mampu mengetahui
Tuhan. Al-Farabi membuktikan eksitensi Tuhan dengan mengajukan beberapa
argumen. Pertama, bukti dari teori gerak. Semua yang terdapat di alam semesta
selalu bergerak yang pada gilirannya bermuara pada satu hal yang pasti, yaitu
adanya sesuatu yang tidak bergerak, tetapi bertindak sabagai penggerak. Kedua,
penyebab efesien (efficiency caution). Demikian pula dengan adanya sebab-sebab
yang beruntun yang berujung pada sebab dari segala sebab, yaitu Tuhan. Ketiga,
argumen mumkin al-wujud. Semua yang terdapat di dunia merupakan realitas yang
mustahil ketiadaannya. Bahkan, menjadi sandaran dari segala yang ada itulah Tuhan.
Al-Farabi memberi sifat Tuhan
sebagaimana filsuf teistik modren melakukannya, dalam pengertian bahwa manusia
dapat mengetahui Tuhan melalui ciptan-Nya.ia juga mengemukakan sifat-sifat
Tuhan, seperti esa, sederhana, tidak terbatas, hidup dan sebainya. Menurut
konsepsinya, Tuhan itu sederhana sebab Dia tidak tersusun dari wujud fisik dan
metafisik. Tuhan adalah satu. Jika tuhan lebih dari satu, berarti Tuhan terdiri
atas beberapa komponen. Secara logis, hal ini tidak mungkin.[19]
3.
Ilmu Fisika Menurut Al-Kindi
Al-Kindi mengatakan bahwa alam ini
ada illat-nya (sebab) yang jauh dan menjadikan sebagiannya sebagai illat bagi
yang lain. Karena itu alam ini asalnya tidak ada, kemudian menjadi ada, karena
diciptakan oleh Tuhan, dan karenanya pula, ia tidak dapat membenarkan qadimnya
alam.
Ia juga mengatakan bahwa di dalam
alam ini terdapat bermacam-maacam gerak, antara lain gerak kejadian dan empat
illat yang telah diperkatakan oleh Aristoteles sebelumnya, yaitu illat-materi
atau illat-unsur (illat maddiyah;material
cause), illat-bentuk (illat
shuriyah;form cause), illat pencipta (illat
fa’ilah; moving cause), dan illat-tujuan (illat ghayah; final cause). Ia akhirnya sampai kepada apa yang
dinamakannnya “Illat pencipta terjauh” bagi tiap-tiap kejadian dan kemusnahan,
yaitu Illat-Pertama atau Tuhan, dan ia juga sampai kepada illlat terdekat,
yaitu semua benda-benda langit yang bekerja untuk menjadikan atau memusnahkan
dengan perantaraan empat unsur di bawah ini.
Kebudayaan dan kemusnahan hanya
terjadi pada alam yang berada di bawah bulan, karena menurut Al-Kindi dan
orang-orang sebelumnya, kejadian dan kemusnahan tersebut hanya bisa terjadi
pada benda-benda yang mempunyai kualitas dan mengandung perlawanan. Panas,
dingin, basah dan kering merupakan permulaan qualitas. Empat unsur ini tidak
terdapat pada benda-benda langit, yaitu sejak dari bulan sampai kepada akhir
benda langit, yang karenanya maka pada alam terakhir ini tidak terdapat
kejadian dan kemusnahan.
Al-Kindi mengatakan bahwa
benda-benda langit mempunyai kehidupan serta mempunya indera-indera yaitu
indera penglihatan dan indera pendengaran saja sebagai indera-indera yang
diperlukan untuk dapat berpikir dan membedakan. Oleh sebab itu, benda-benda
langit adalah benda-benda yang hidup.
Oleh karena benda-benda langit
menjadi illat terdekat bagi kejadian dan kemusnahan dalam alam ini, maka
kehidupan di bumi menjadi tergantung kepadanya. Benda-benda langit itulah yang
menimbulkan kehidupan di bumi sebagai akbat geraknya yang abadi (terus menerus)
menurut arah tertentu. Dengan demikian, maka kita harus merasakan keagungan
kekuasaan Tuhan.
Tentang baharunya alam, maka dalam
mengemukakan bukti-buktinya ia mengikuti ajaran agama Islam dan pikiran-pikiran
Aristoteles. Dalil Al-Kindi berpangkal pada arti gerak dan waktu (zaman), serta
pertalian antara keduanya, kemudian pertalian keduanya dengan benda.
Tiap-tiap gerak berarti merupakan
bilangan masa benda, dan oleh karena itu maka gerak hanya terdapat pada apa
yang mempunyai zaman. Berdasarkan ini, maka gerak itu ada, apabila ada benda,
karena tidak mungkin ada benda yang semula diam kemudian bergerak, sebab
benda-alam ini adakalanya baharu atau qadim.
Kalau baharu, maka wujudnya dari tiada adalah kejadian, sedang kejadian
merupakan salah satu macam gerak. Jadi baharunya benda alam adalah gerakan, dan
oleh karena itu baharu dan gerak selalu bergandengan. Jika benda itu qadim dan
diam yang mungkin bisa bergerak, kemudian bergerak sesudah itu, maka hal ini
berarti bahwa sesuatu yang azali mengalami perubahan. Akan tetapi, yang qadim
tidak mungkin mengalami perubahan.
Jika benda tidak terdapat tanpa
gerak, sedang gerak menjadi syarat pokok bagi wujudnya zaman, dan zaman benda
adalah massa wujudnya, maka kelanjutannya dari ini semua ialah bahwa benda,
gerak dan zaman terdapat bersama-sama dimana salah satunya tidak mendahului
yang lain. [20]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Filsafat ilmu adalah berpikir secara ilmiah dan mendalam khusus tentang ilmu (tersebut) untuk
memperoleh suatu kebenaran tentang hakikat ilmu tersebut yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Filsafat ilmu dalam pandangan Islam ada dua pandangan, ada yang setuju
(mengakui) dan ada pula yang tidak. Pendapat yang menyatakan setuju salah satu
alasannya adalah karena manusia mempunyai akal dan diminta untuk berpikir
(filsafat) tentang apapun yang terjadi di muka bumi untuk menambah kenyakinan
akan kekuasaan-Nya (dalam al-Qur’an surah al-Jaatsiyah ayat 5). Sedangkan
pendapat yang tidak setuju menyatakan alasannya adalah bahwa dalam filsafat
yang dikedepankan adalah akal, dan pasti menyebabkan meninggalkan al-Qur’an dan
hadits, sedangkan dalam al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 1, kita disuruh untuk
mendahulukan Allah swt. dan rasul-Nya; Al-Qur’an dan hadits.
3.
Pandangan
para filsuf Muslim, diantaranya adalah :
a. Ilmu Jiwa (Psikologi) Menurut Ibnu Sina dan Al-Farabi
b.
Metafisika Menurut Al-Kindi dan Al-Farabi
c.
Ilmu Fisika Menurut Al-Kindi
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi,
Asmoro. 2014. , Filsafat Umum. Jakarta :Rajagrafindo Persada.
Adib, Muhammad. 2010. Filsafat
Ilmu Ontologi, Epistimologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Penegtahuan.
Yogyakarta : Putaka Pelajar.
Al-Maragi,
Ahmad Mustafa. 1992. Tafsir Al-Maragi Juz I.
Semarang
: Toha Putra Semarang.
Al-Maragi,
Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maragi Juz XXV.
Semarang
: Toha Putra Semarang.
Bakhtiar,
Amsal. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Drajat,
Amroeni. 2006. Filsafat Islam;
Buat yang Pengen Tahu .
Jakarta
: Penerbit Erlangga.
Hamka.
1982. Tafsir Al-Azhar Juzu’ VII. Jakarta : Pustaka Panjimas
Hanafi,
Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat
Islam. Jakarta
: Bulan Bintang.
Madkour,
Ibrahim. 1991. Filsafat Islam;
Metode dan Penerapannya.
Jakarta : Rajawali.
Purba,
Edward. 2014. Filsafat Pendididkan. Medan : Unimed Press.
Suriasumantri,
Jujun S.. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta
: Pustaka Sinar Harapan.
Syafaruddin. 2008. Filsafat
Ilmu Mengembangkan Kreativitas dalam Proses Keilmuan . Bandung :
Citapustaka Media Perintis.
Usiono.
2015. Filsafat Ilmu . Bandung : Citapustaka Media.
Zar,
Sirajuddin. 2010. Filsafat Islam;
Filosof dan Filsafatnya.
Jakarta : Rajagrafindo Persada
http://abubassam19.blogspot.co.id/2014/03/mengapa-filsafat-merusak-akal-dan-agama.html
(
dilihat 7 April 2016 ; 12: 43 WIB)
http://penerbit.insanrabbani.com/ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-filsafat-ilmu-sebuah-pengantar/
( dilihat 7 April 2016; 12:43 WIB)
[3] Mohammad
Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistimologi, Aksiologi dan Logika Ilmu
Penegtahuan (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 39.
[5] Syafaruddin,
Filsafat Ilmu Mengembangkan Kreativitas dalam Proses Keilmuan (Bandung : Citapustaka Media Perintis,
2008), hlm. 36.
[9] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya
(Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 20-23.
[11] Ahmad
Mustafa Al Maragi, Tafsir al-Maragi Juz XXV (Semarang : Toha Putra
Semarang, 1993) hlm. 260.
[12] Ahmad
Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi Juz I (Semarang : Toha Putra Semarang, 1992), hlm.
183.
[13]
http://penerbit.insanrabbani.com/ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-filsafat-ilmu-sebuah-pengantar/
( dilihat 7 April 2016; 12:43 WIB)
[15] http://abubassam19.blogspot.co.id/2014/03/mengapa-filsafat-merusak-akal-dan-agama.html
( dilihat 7 April 2016 ; 12: 43
WIB)
[17] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan
Filsafatnya (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 87.
[19] Amroeni Drajat, Filsafat Islam; Buat yang Pengen Tahu
(Jakarta : Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar